Monday, June 07, 2010
suluk mah lain ku haling,
suluk mah lain ku geura,
suluk mah lain ku mending,
suluk mah lain ku pangajak,
suluk mah lain ku panarik...
Suluk mah lakuning laku,
Laku kretegan ati,
Raga nu nandangan enya,
Kana untung kana rugi,
Lakar salah jeung nyalahan,
Rasa manehna pribadi
(Hasan Mustopa)
tx to rezha - 2010
Monday, January 18, 2010
maafkan ibumu...
pernah seorang sahabat ibumu bertanya : 'kenapa kamu pergi meninggalkan anakmu..?'
entah kenapa ibumu ini tidak bisa menjawab seketika itu juga.
Mungkin dia benar...seharusnya ibumu tidak pergi.
Memang tidak mudah bagi ibumu untuk menjawabnya.
Dan kamu tahu anakku, pertanyaan itu setiap saat mengusikku...
Ibumu berharap suatu saat kamu mengerti
Mungkin, ibumu ini hanya mengikuti jalan yang terbentang dan mengikutinya..
Mungkin ibumu ini masih berusaha mencari jawaban-jawaban yang kelak akan kau pertanyakan dan takut tak bisa menjawabnya (Seperti yang senantiasa... kau tanyakan pada ibumu).
Atau mungkin ibumu ini hanya mementingkan dirinya sendiri saja.
dan bisa jadi ibumu bukanlah ibu yang baik untukmu..
Mungkin seharusnya ibumu tetap tinggal dan ada disisimu
Ya disini ibumu berpikir mungkin seharusnya ibumu tidak pergi...
Anakku...
Tak terbilang dalam setiap hela napas, ibumu mengingat semua waktu bersama kita.
Saat sebelum tidur kau, mendengarkan kisah tentang si air, si kayu, si pohon, si langit, si pasir, si tanah. Dan dengan tidak sabar menunggu hari esok untuk mendengar kelanjutannya.
Saat kau bertanya, Tuhan ada dimana bu..
Saat kita mandi hujan bersama di halaman belakang rumah kuricang, mencari si Kukuy, kura-kuramu yang selalu menari ditengah hujan.
saat kau menangis karena mainanmu rusak
saat kau menggambar warna warni diatas kertas putihmu..
saat kau menggigil demam saat kau sakit
saat kau teriak-teriak melihat kucingmu si Kuskus melintas
saat diam-diam kau menyanyi-kan sebuah lagu karena kau terlalu malu untuk didengar ibumu sendiri.
Anakku
Yang bisa kulakukan saat ini hanyalah berdoa dan bersabar
semoga sang Rabb senantiasa menjagamu, dan menjaga sinar didalam hatimu tetap menyala
amien
maafkan ibumu...
tak lama kita akan bersama lagi.
masih kuingat, terakhir kali kita saling memandang, kamu hanya bisa berkata, “ambu... nakal! (ya. Abil...ambu-mu nakal...)
(untuk Langit Alif Nabiil anakku, North Hollywood, Jan2010)
Thursday, January 14, 2010
Saturday, December 05, 2009
taubatan nashuhah
Wednesday, June 24, 2009
sebuah cerpen
ah...
secepat itu...?
lalu untuk siapa kita menjadi. merasa. dan memiliki. lalu untuk apa semua ini diawali.
lalu kemana aku harus membuang remah dari serpih hati yang lantak ini...
ketika itu mulai menjajah, dan pandora sudah terbelah.
huh.
akuyangmerasabodoh.
Tuesday, May 27, 2008
SLAMET
Mendung. Sungai meluap dan coklat. pintu air sudah dibuka sejak kemarin. Tapi Ini adalah berkah. Setidaknya bagi mereka yang kini sudah siap berjajar di bilah baja jembatan. Menyerok apapun yang hanyut di bawah mereka. Yang laku dijual.
Mereka adalah para pemulung yang tinggal di'apartemen gantung'- itulah sebutan yang mereka berikan pada tempat tinggal mereka -. "Atas mobil, bawah kolam renang, ditengah-tengah saya ngapung " ujar Mamah Butet.
Ya, kolong jembatan. Rangka baja yang menyangga beton jembatan Manggarai , menjadi tempat yang nyaman untuk tinggal dan hidup. Kuat,fleksibel, aman, dan tersembunyi. Puluhan tahun mereka tinggal disini, dan berprofesi sebagai pemulung. Sekilo botol aqua laku dijual Rp.1200 per kg. lumayan untuk menyambung hidup.
Salah satunya adalah Uwo, 16 tahun. Dia adalah generasi ketiga yang lahir disini. Tepatnya cucu pak Asad, orang terlama -sudah tiga puluhan tahun- tinggal disini.
Tangan kanan Uwo memegang serok, sementara tangan kiri menggenggam buku '1421, saat
" Wwwooo, taroh bukunya !!!, banyak yang lewat dibawah elu tuh !. Ato tempat lo sini buat gw.." teriak mamah Butet, yang tak sabar melihat Uwo yang lebih banyak membaca buku daripada nyerok sampah. Sementara tempat duduk sangat berharga.
"Nih, buku elo..ntar gw pinjem lagi…" buku itu dilempar Uwo ke bocah dibelakangnya yang sedang melamun. Di tangan bocah itu, Slamet, 14 tahun sudah ada buku 'Karl Marx, Revolusi dan Sosialisme' karangan Ken Budha Kusumandaru, yang sudah lecek.
Aku yang sedari tadi duduk memperhatikan mereka semua sambil mengisap sebatang Marlboro putih, terusik. Pikirku… sampai juga 'buku' itu ke tempat seperti ini. apalagi di tangan seorang Slamet.
Bocah ini memang bukan penghuni tetap kolong jembatan ini. dia hanya anak jalanan. Kadang ngamen, kadang mulung, atau sekedar jadi 'pak ogah' di putaran jalan. Dia tinggal dimana saja dia mau, salah satunya selewat saja mampir ke komunitas kolong jembatan ini.
Kisah hidup Slamet sendiri cukup unik. Homeless, borderless, putus sekolah…. pokoknya tragis.
Tahun lalu, saat heboh berita tertangkapnya seorang pedofil asal Australia Peter W Smith di JaKarta, adalah Slamet yang mengadu ke polisi. Dia bersama tujuh temannya sesama anak jalanan menjadi korban si bule 'freak' ini.
Modusnya apalagi kalau bukan iming-iming uang. Dan gilanya si bule goblok ini sudah melakukan pedofilia sejak tahun 2003. Slamet sebagai korban terakhir, mengadukan si bule ke polisi dan kemudian diikuti teman-2nya itu. Kini si bule itu udah di penjara.
AKu sendiri nggak sengaja bertemu Slamet disini. Mungkin karena kasusnya itu jugalah yang membuat Slamet terbiasa dengan orang-orang 'berkamera'.
" Kak.. aku Slamet " ujarnya menghampiri ketika kami sibuk menset peralatan. " sedang apa kak ? " rasa ingin tahunya ternyata juga besar. Dan kami ngobrol panjang di sela-sela shooting.
Hari-hari berikutnya terkadang dia nongol, kadang raib entah kemana selama kami mengambil gambar di kolong jembatan.
Kini, aku kembali terusik olehnya. Dia melamun diatas sungai yang keruh sambil menggenggam 2 buku tadi.
" Siapa yang ngajarin lu baca buku-2 itu .." tanyaku.
" kakak-kakak di lsm .." jawab Slamet. Slamet memang kini, dilindungi satu LSM anak jalanan di
" punya buku apa aja ?
" lumayan mbak.. ada komik juga.. kakak2 yang beliin "
" yang itu udah abis loe baca? "
" udah sih…Cuma… mmm…"
" kenapa, coba aku ingin tahu isinya apa yang Karl Marx itu…"
" yah… ada tentang ideology-ideologi gitulah.. aku sih nggak terlalu ngerti .. bacanya susah "
"lho..terus ngapain elo bawa-bawa itu dua buku.."
" anu… kak, mau saya jual ke SENEN entar siang. Lumayan satu buku laku 20 ribu kak.."
(Walah..! slamet tetaplah slamet)
(februari 2007, ews).
Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com
Monday, May 26, 2008
Dicari : Sahabat yang Hilang
Dimana kau sahabat?
Terakhir kudengar kau bekerja di sebuah perusahaan pemrogaman komputer di belantara jakarta ini. Entah dimana.
Disela kesibukanmu membahasakan peranti lunak (mungkin), masih ingatkah kau, belasan tahun silam, orangtua kita berdua pernah dipanggil guru BP, karena kita berdua bolos 2 hari untuk ikut naik gunung Salak bersama kelompok PA kita (tahun 90, kita ikut pendidikan pencinta alam ‘amatir’ SMA kita SMA 1 Bogor, Satya Sudirman. Waktu itu kita masih kelas satu sma). Ibuku mengomel habis2an dan melarangku naik gunung lagi..
Aku sempat kapok.Tapi kau tidak. Kaulah yang kemudian menyemangatiku untuk ikut bertualang lagi. Kala itu, beberapa bulan kemudian, kami merencanakan petualangan ke Situgunung Sukabumi selama satu hari. Gilanya, supaya ongkosnya murah, kau menyarankan tetap memakai seragam putih abu-abu. - ya, otomatis bolos dong, masak anak sekolahan keluyuran hari minggu-.
Perjalanan ke Situgunung sukses, tapi kita kehabisan uang, karena kebanyakan jajan. Uang yang tersisa hanya cukup untuk ongkos pulang. Menjelang sore kita pulang naik bis miniarta jurusan Sukabumi-Bogor-Cimanggis - kuingat bisnya butut warna coklat- dengan perut keroncongan.
Di Parung Kuda, tiba-tiba ada seorang bapak naik dengan dua karung plastik putih ditumpuk di sebelah bangku kita. Entah apa isinya. Tapi rupanya kau yang duduk di sebelah karung itu mulai mengenali isinya lewat baunya. Dan mulailah jari-jarimu bekerja memperlebar sebuah lubang kecil di karung itu. Hingga cukup lebar untuk bisa menggelindingkan dua butir kedondong keluar. ” nih makan..” ujarmu saat itu membagi hasil kerjamu. Si Bapak pemilik karung masih berdiri di belakang tak kebagian tempat duduk, sementara kita mengunyah kedondongnya. Hahahhaa.. makasih pak, jasamu abadi.
Linda, dimana kau sahabat?
Masih ingatkah kau, petualangan-petualangan gila kita tetap berlanjut hingga kita lulus sma meskipun terpisah. Kau di Jakarta aku di Bandung. Namun Kita tetap semangat merencanakan perjalanan-perjalanan kita saat liburan kuliah.
Kala itu, ditahun keduaku di Bandung aku mengajakmu naik puncak Semeru, karena aku ingin sekali melihat nisan Soe Hok Gie di puncak Mahameru . Kita berangkat dari Bandung. Namun kita gagal naik kereta ke Malang, karena kita bangun kesiangan. Dan akhirnya kita naik bis. Ingatkah kau kita sempat ditipu calo di terminal, setelah membayar ongkos Bandung-Surabaya, tapi kita diturunkan di terminal Cirebon. Hahahha... aku ingat kau marah2 saat itu diterminal. Dan akhirnya tiket itu bisa diganti dengan tiket bus ekonomi ke Surabaya. Sengsara banget..karena nggak nyampe2.
Tapi kita berdua akhirnya menginjakkan kaki di Ranupane (lewat Tumpang). Pihak BKSDA (waktu itu belum taman nasional kayaknya) awalnya tidak mengijinkan kita naik, karena saat itu sedang terjadi kebakaran hutan di Semeru. Apalagi mereka saat itu sepertinya meragukan kita. Bagaimana tidak, dua orang perempuan muda, satu orang berbadan kecil, satu tinggi kurus dengan ransel-ransel besar, sok tangguh bin nekat. Tapi akhirnya kita diijinkan naik, setelah kita meyakinkan akan menunggu di Ranukumbolo hingga kebakaran mereda. Mereka setuju dan meminta kita bergabung dnegan 3 orang pendaki dari Trupala Jakarta -semuanya laki-laki-. Mungkin bapak-bapak petugas itu yakin, kami akan saling menjaga disana.
Kami memang saling menjaga. Bersahabat dengan mereka -aku sudah lupa siapa saja nama-nama mereka-, berbagi makanan dan cerita selama tiga hari di Ranu Kumbolo. Sementara kalau malam kami menonton (tepatnya berjaga) api membakar hutan dan rumput-rumput kering di sekeliling. Kita merasa aman, karena rumput disekeliling kita telah menghitam terbakar sejak dua minggu sebelumnya, jadi tak mungkin tenda kita akan turut hangus.
Akhirnya api memadam, dan kami semua mulai mendaki. Kami memutuskan untuk berpisah, karena mereka memburu waktu. Tinggallah hanya kita berdua lagi, mendaki perlahan. Untungnya kita sempat mencapai Cemoro Tunggal saat menjelang senja. Menginap semalam, karena besok harus bangun subuh untuk mendaki bukit pasir Mahameru (kita menargetkan saat sunrise minimal kita mencapai puncak).
Disitulah untuk pertama kalinya aku melihat kau patah arang. Putus asa, karena setiap tiga langkah mendaki, kami merosot dua langkah di pasir yang gembur. Nggak.... nyampe-nyampe. Sementara diatas kita tim trupala hampir mencapai puncak. Kau hampir memutuskan untuk berhenti disitu. Tapi akhirnya kita berhasil. - aku ingat kau menangis dipuncak, sambil ditertawakan anak2 Trupala itu, yang menyambut kita dengan sebotol air minum -.
Masih ingatkah semua itu kau sahabat ?
Tak terhitung petualangan yang telah kita lewati bersama setelah Semeru itu. Saat kita masih beranjak dewasa (dalam berpikir), belasan tahun silam. Jauh sebelum aku mengenal arogansi sebuah organisasi kepecinta-alaman, jauh sebelum kita mengenal kerasnya kehidupan usai lulus kuliah, jauh sebelum kita mengenal patah hati.
Namun, justru saat aku mulai mengenal semua itulah kita mulai terpisah. Entah oleh apa.
Dimana kau Sahabat?
Kurindu semua petualangan kita.
Monday, April 07, 2008
Requiem for the Departed
The maritime culture of the Macassans permeates life in the land of the Aborigines. Ancient paintings of padekawang abound in caves in Arnhem Land.
The sail at the masthead dips from side to side.
As the boat comes up from the south…
The sail unfurled at the masthead flaps in the wind.
It stands upright and flaps, as the boat goes on.
The wind tosses the sail, up on the mast,
And the masthead moves, dipping from side to side
The sail on the mast flaps, dancing, and ‘talks’ in the wind..
(Gurmatjh Clan, Yirkala)
Fresh flowers of all colors are planted at the head of the grave, flags flapping at every corner. No tombstone, except for a totem pole 2 meters tall. On its top an iron anchor stands out against the sky. "The flag and the head of the totem pole bear strong influences from the Macassan ships," Steve Westley, manager of the Galiwinku Art Center in Galiwinku, told me.
There’s a sense of liveliness, warmth and dynamism. Here is a legacy of the Macassans’ maritime tradition coloring the life of the Aborigines in Arnhem. The song of the Gumatj, originally sung to say farewell to Macassan sailors returning home to Sulawesi, turns into a requiem. They danced and sang around a bonfire in farewell parties of bygone days. Today the requiem is sung at funeral rites within the Gumatj clan from Yirkella to Elcho in Arnhem Land. "The song is sung repeatedly on the demise of a relative," says anthropologist C. Brendt.
In the beliefs of the Aborigines death is a journey home. Sails are unfurled, the flags flapping, the anchors weighed—this is a death ritual for the Aborigines. Dozens of flags and poles decorate funeral grounds in Galiwinku. "We call the poles wuramu," says Datjing Burarrwanga, a descendant of the Macassan sailors in Arnhem Land.
The wuramu takes many forms, including the totem pole, the top of which is painted and carved in the form of a human head. Set up under asam trees in Arnhem Land, the pole resembles a tombstone in Makassar. In an article titled Macassar and the Aborigines, McKnight writes: "Some poles are fashioned in the form of a tripod mast of a padewakang."
Wuramu also has another meaning in the life of the Aborigines in the spirit of the Creator. In the coming-of-age ritual among members of the Burarrwanga family, for instance, the word of praise barokallah (blessings of Allah) is repeatedly sung, the same word of praise uttered by the Macassan sailors. "If they have barokallah in Makassar, here our creator is wurakamu," says Datjing, explaining the song sung by his father Matjuwi. This proves that the Macassans, who were Muslims, never forced their faith on the Aborigines.
Macassans’ influences are evident not only in the Aborigine songs, but also in their dances, notably the dance of the flags. A dance festival held in Darwin in August featured a group called the Red Flag Dancers which stole the show with the performers, their bodies painted and dressed only in loincloths, dancing wit flags of all colors.
"Originally the flags were flown on the topmast of a ship on departure or to show the direction of the wind. No idea of flags was known to the Aborigines before," says Joanna Barrkman, curator at the Northern Territory Museum of Art and Gallery in Darwin.
Flags also feature in Aboriginal paintings, whether done on canvasses, tree bark or other media. Paintings by Matjuwi Burarrwanga, for instance, give much emphasis on images of padewakang complete with its sails and tripod masts, and pedang, parang, Macassans’ houses and teripang.
The images are depicted figuratively in two dimensions in four basic colors: yellow, brick red, black and white, typical for thousands of years of Aboriginal paintings. The basic colors are drawn from natural materials, including lime, coal, and ochre red and yellow rocks pounded into fine grains and mixed with water into paint. Each clan has its own characteristics, depending on the materials available. On Elcho Island, which is rich in lime, white is dominant in the paintings by the local artists.
Images of life in Makassar are found in many rock paintings. George Chaloupka, a rock painting researcher, discovered such paintings in Groote Eylandt, including dozens depicting padekawang the Macassans traditional sailboat. Sadly, Chaloupka could not determine the date of the paintings for lack of carbon material in them. "But judging by the theme of the paintings, one can conclude that they were done between the 17th and 18th centuries," says Chaloupka.
Images of monkeys climbing trees, for instance, were clearly done by an Aborigine who had been to Makassar. Other than monkeys and padekawang, he also painted light-skinned Macassan women dressed in sarongs. "It’s his way of expressing himself of what he had seen for posterity," Chaloupka says.
There’s growing appreciation of Aboriginal paintings in Australia with the annual presentation of the National Aboriginal and Torres Strait Islander Art Award. The winner carries a cash prize of US$40,000, which is equivalent to Rp360 million. "Works of art have become a main source of income for many Aborigines, without which they can only rely on government aid," says Joanna.
Today many Aboriginal works of art are on display in galleries in Australia, fetching prices many times over the original paid the artists.
Sitting on the ground, the Aboriginal families gather to listen to legends recited by the elders of the community of visitors from across the seas—from an island far away in Sulawesi. The centuries-old legends tell of a seafaring tradition of the Macassan sailors who brave the stormy seas to visit the Land of the Aborigines.
It hangs down, that rigging, like falling rain.
They were looking at the rigging,
hanging down from the cross-bar,
from the top of the mast…
They looked at the rigging,
ropes dangling downward…
Looked at it,
hanging down from the cross-bar,
from the mast, like falling rain…
On top of the cross-bar,
hanging down to the deck,
the sail at the mast…
Endah WS (GAliwinku, Arnhemland Australia)
A Tearful Reunion
Matjuwi Burarrwanga and Mansjur Muhayang were separated by circumstances for decades until they were brought back together in a tearful reunion.
THE old Land Rover sped through the dense forests of Arnhem Land in Australia’s Northern Territory one afternoon last August. At the wheel was Datjing Burarrwanga, smoking and enjoying the tune sung over the car radio by Bob Marley: "One love, one heart…. Let’s get together and feel all right… hear the children crying."
Suddenly everyone was jolted by the cry of a child squeezed between passengers as the overcrowded jeep shook over the bumpy road. In the car were Datjing and all members of his family: wife, children and grandchildren. "We’ll soon be in Gulumari, the gravesite of our grandma. Move the child up here," he called out as he stepped on the accelerator. Datjing was taking Tempo on a visit to the grave of Gunanong, the family’s great grandmother.
The grave is located on the coast of Gulumari, about 30 kilometers from Galiwinku. The dirt road traversed by the old jeep was the only decent road on Elcho Island. From the air the island, 50 kilometers long and 6 kilometers wide, looks like an elongated snake. "The Macassan blood in my body flows from Gunanong," said Datjing as he cleared the tombstone of sand and leaves.
Gunanong was the daughter born of the marriage of Husein Daeng Rangka, a Macassan, and Yalyarrambu, an aborigine woman. Records show that Husein was among the last sailors to visit Arnhem Land. "He took Yalyarrambu with him to Makassar where she died and was buried," says Matjuwi, Datjing’s father.
Matjuwi, 74, chose to stay home and did not join the visit because of failing health. Age has also robbed him of eyesight. But the old man has a strong memory of members of his family in Makassar. "How is Mansjur Muhayang? I miss him," he said inquiring about his stepbrother in Makassar. The question was translated by one of his grandchildren. Unlike his son, Matjuwi doesn’t speak English.
Accompanied by Australian historian Peter Spillet, Matjuwi went to Makassar in 1987 to retrace the journey taken by the Macassan sailors to Arnhem Land centuries ago. In Makassar, Matjuwi rebuilt ties with the family of his ancestors in Sulawesi, paying homage to the grave of Husein Daeng Rangka, who in his aborigine tongue was called Yotjing (sometimes spelled "Ocing").
Mansjur Muhayang is a great grandchild of Yotjing. "Mansjur joined the voyage to Galiwinku on board a padewakang called Hati Marege," says Peter Spillet. Spillet described the reunion between Mansjur and Matjuwi as an emotional one with the two brothers crying in each other’s arms.
Some of Matjuwi’s children later in the late 1900s also went to see uncle Mansjur Muhayang in Makassar. At that time, Andrish Saint-Clare, an Australian choreographer, expressed an interest in producing a performance reliving the voyages of the Macassan sailors to Arnhem Land.
Before going to Makassar, Matjuwi knew of his roots in Sulawesi only through stories recited by Nona, a name by which Husein addressed Gunanong. "Nona is a Makassarese name given by Yotjing to Gunanong," Datjing explained. Datjing itself is a corruption of Daeng Gassing, a Makassarese name which means a big daeng. Daeng is a name by which a male person is called in Makassar.
It was Spillet and Michael Cook, lecturer at Batchelor College in Darwin, who brought the idea of taking Matjuwi to Makassar. "Without such a visit, little of the puzzle would have been solved," writes Michael Cooke in his report. In his book A Voyage to Marege, McKnight writes that Gunanong was born and died in Makassar and never returned to Galiwinku. On the contrary, Matjuwi says his grandmother never went to Makassar. She was born and died in Galiwinku when Matjuwi was about 10 years old.
Datjing said he has a good record of the family tree. His father never ceased to recount stories about his roots in Makassar in songs and paintings. Matjuwi is a gifted painter. His works have been displayed in exhibitions in many countries, including America, Canada, and Japan.
One of his most famous paintings is on display at the Museum Art and Gallery Northern Territory in Darwin. It’s a painting about the abduction of an aunt by Macassan sailors. "My aunt was abducted to Makassar and never returned. They are all members of the family," Matjuwi writes in the synopsis of the painting.
Matjuwi’s painting talent is inherited by his children. Only the Burarrwanga clan seems to possess such talent on Elcho Island. Their paintings, done on all kinds of media, from tree trunk, bark to canvas, are on regular display at the Galiwinku Art Center. Buyers come from all over Australia.
The Matjuwi family lives a relatively comfortable life in a well-furnished house complete with electronic goods and home appliances: television, video player, refrigerators, gas stove. No sofas, however, are seen in the house because by tradition aborigines generally sit on the floor.
On return from their visit to the grave in Gulumari, Datjing and members of his family later in the afternoon joined Matjuwi for the initiation of one of the boys into manhood in a ceremony held under the jamblang trees at the back of the house.
Matjuwi, who has been elected chief of the Gumatj clan—consisting of the Burarrwanga and Yunupinju families—sat on an iron bed with an old mattress. Bare-chested and with a bottle of Sprite in his hand he began singing. Accompanied by yidoki, an aborigine wind instrument, and the beats of two pieces of wood called bilmark. Members of the clan, coming from all parts of Arnhem Land, then joined Matjuwi singing and dancing. "The songs tell of the myths of our ancestors, including those from Makassar," Datjing told Tempo in whispers.
As the beats from the bilmark intensified and the singing reached a crescendo, a sense of sacredness and mysticism filled the air. Red paints were rubbed all over the boy’s chest and back as the women danced around. Suddenly one of the women seized the hands of this reporter and shouted: "Come join the dance. You are part of the family. Indonesians are the family."
Endah WS (Galiwinkku, Arnhemland Austalia)
Venice, 23rd December 1953
".. I wish to tell you how interesting the stand of your country has been for me. This is why I would like The Exprezione Internazionale Biennale d'Arte at Venetia to be the first to show to Italy such a high level artist as Affandi. The Biennale di Venice will put your disposal a room, if you are willing to accept our offer. "
The Secretary General
Prof. Rudolf Palluchène
Potongan surat di atas seperti menjadi saksi. Datang dari salah seorang kurator di Venesia untuk Affandi, setengah abad lalu. Saat itu kota air ini akan disesaki seniman dari segala penjuru dunia. Pembicaraan orang-orang di gondola pun tak jauh dari sebuah hajat besar yang sedang digelar di kota itu, "La Biennale di Venice". Bienal Venesia, sebuah ajang pameran seni internasional dua tahunan, tertua, dan terbesar. Tak kurang dari pelukis-pelukis besar seperti Picasso hadir di sana.
Jauh dari keriuhan nama-nama besar itu, seorang pelukis dari sebuah negara Asia yang baru merdeka hadir di sana. Affandi mendapat undangan langsung untuk mengikuti Bienal Venesia dari sang profesor seorang. Potongan suratnya menunjukkan bagaimana minat Rudolf terhadap karya-karya Affandi, yang sebelumnya sukses mengikuti Bienal Sao Paulo di Brazil. Surat itu sendiri terekam di buku Corat-coret Affandi, yang ditulis Mochtar Apin.
Menurut Kartika, putri sulung Affandi, saat itu ayahnya sedang berada di London, mengunjungi Kartika yang melahirkan cucu pertamanya. Ia menerima dua undangan: dari profesor itu dan dari Menteri Kebudayaan Indonesia saat itu, Priyono. Mereka ingin Affandi mengikuti Bienal Venesia, mewakili Indonesia.
Berangkatlah Affandi ke Venesia. Menurut Kartika, Affandi membawa sekitar 40 lukisan. Semua merupakan hasil garapannya sepanjang 1938-1953, tatkala si pelukis melawat ke India dan Eropa. Semua bergaya ekspresionis, di antaranya Gadis Inggris, London Bridge, dan Kelahiran Cucuku Pertama.
Seingat Kartika, di acara bienal itu Affandi tidak mendapat penghargaan dari penyelenggara. Tapi opini publik yang diperlihatkan dari media massa justru mengatakan seharusnya Affandi yang menerima penghargaan. Namanya, menurut Kartika, memenuhi media massa setempat saat itu. Penghargaan datang juga dari Bung Karno untuk Affandi, yang setelah bienal itu menetap di Italia. "Bung Karno mengirim telegram kepada Affandi, mengucapkan selamat dan terima kasih karena sudah membawa nama bangsa," cerita Kartika kepada TEMPO.
Sayangnya, tidak ada dokumentasi sejarah yang menegaskan kehadiran Affandi di acara bienal itu. Misalnya, selain undangan dari sang profesor, tidak ada katalog atau catatan kurator Affandi saat itu. Inilah yang membuat ragu pengamat seni Jim Supangkat. "Buktinya hanya undangan profesor itu," ujar Jim Supangkat. Menurut Jim, kemungkinan besar, kalaupun Affandi berangkat ke bienal, dia tidak mengikuti pameran utamanya (core exhibition) yang biasanya diikuti oleh maestro dunia sekelas Picasso. Ada kemungkinan Affandi hanya ikut pameran di sebuah galeri di Venesia.
Apa pun itu, yang pasti Affandi memang pernah mewakili Indonesia dan tidak pernah merasa minder berada di tengah seniman dunia, apalagi di sebuah perhelatan bienal internasional. Seperti yang ditulis Affandi dalam surat kepada sahabatnya, Muhamad Arsath Rois, pada 15 Juni 1954 di Amsterdam. Surat itu ditulisnya dari Roma setelah bienal itu: " tetapi ondanks det allis, kesenian Indonesia tida kalah dengan negri-2 ketjil seperti Portugal, Sweden, Noorwegen, Finland, Egypt?."
Endah W.S.
Wednesday, January 23, 2008
Aki Otto
Ketika semua orang ‘tergagah-gagah’ menggunakan land rover, dia memilih berjalan kaki dari barak Situ Lembang menuju Cicaruk. Bukan jarak yang dekat untuk orang seusia dia, 83 tahun. “ saya ini sudah tua, tapi bukan berarti saya tidak mampu “ tutur abah Iwan mengungkapkan alasan Aki Otto saat menolak diantar landrover.
Aki Otto tidak mengada-ngada. Aku masih teringat sekitar dua tahun silam, bagaimana Cahyo Alkantana (ketua himpunan kegiatan Speleologi Indonesia, HIKESPI) ketar-ketir menanggapi permintaannya. Bagaimana tidak, saat itu Aki Otto memohon turun – lebih tepatnya ‘memaksa’ – ke luweng grubug. “ saya ini orang lingkungan, buat apa kalau saya nggak turun langsung ke lapangan, saya mampu ! ” ujar Aki Otto yang di masa mudanya sempat menjadi mualim kapal kayu ini.
Tapi masalah ‘turun langsung’ inilah yang membuat Cahyo mengurut keningnya memutar otak. Bukan apa-apa. Luweng Grubug adalah gua vertical sedalam 90 meter, yang hanya bisa dituruni secara professional oleh seorang caver dengan cara single rope technique (SRT), atau turun menggantung dengan satu tali saja. cara termudah adalah turun dari Luweng Jomblang yang dalamnya hanya 60 meter, lalu berjalan kaki sejauh 500 meter di dalam gua horizontal yang gelap gulita.
Akhirnya cara kedualah yang ditempuh Cahyo dan kawan-kawan Hikespi. Aku masih ingat bagaimana kawan-kawan Hikespi rapat selama 3 jam semalam sebelumnya, memperhitungkan segala kemungkinan dan safety procedure bagai penjelajahan Aki Otto ini. Ini semua dilakukan demi mengantar begawan ekologi Indonesia ke Luweng Grubug.
Ahli Ekologi mana yang tak ingin turun langsung ke lapangan menyaksikan fenomena alam Luweng grubug.
Tak banyak yang tahu, di tengah tandusnya tanah karst Gunung Kidul, air berlimpah ruah di perut bumi. Mengalir menembus lorong-lorong gua di bawah tanah, menjadi sebuah sungai bernama kali Suci. Nah, kali Suci ini menggelegar mengalir deras di dasar luweng grubug. Di kedalaman 90 meter di bawah permukaan tanah ini, riak air Kali Suci berkilat-kilat disinari cahaya matahari yang menembus masuk melalui lubang di mulut Luweng Grubug.
Ahli ekologi mana yang tak ingin menyaksikan langsung fenomena alam ini. Termasuk Aki Otto.
Akhirnya tibalah hari dimana Aki Otto harus turun dengan peralatan SRT melalui Luweng Grubug. Segala pengaman dipasang di tubuhnya, mulai dari body-harness, hingga tali dan karabiner pengaman berlapis-lapis. Cahyo mendampingi langsung proses turunnya Aki Otto dengan jalur tali yang berbeda disisinya. SAtu tali pengaman dihubungkan dengan Cahyo langsung.
Kami yang sudah menunggu di dasar luweng grubug, berdebar menanti aki Otto, ‘dikerek’ setinggi 60 meter. Begitu sampai di dasar, tak sedikitpun raut pucat terlihat diwajahnya. “sekarang saya jadi mengerti kenapa kalian-kalian senang keluar masuk gw “ ujarnya sambil tersenyum lebar.
Begitu juga Sepanjang perjalanan di dalam luweng Jomblang-Grubug, tak sedikitpun Aki Otto mengeluh. Dengan serius dia menyimak semua penjelasan Cahyo yang dengan telaten menuntunnya. Sore hari, semua bernapas lega, ketika Aki Otto kembali ke permukaan tanah. Cahyo hanya berkomentar, “ saya salut dengan beliau, belum tentu nanti, di seusia dia saya masih mau turun langsung ke lapangan. Hebat ! “
Penjelajahan itu sendiri bukan sekedar ‘jalan-jalan’ bagi Aki Otto. Di bibir Luweng, dia masih sempet memberi ‘kuliah lingkungan’ bagi kami. Menurutnya Luweng Grubug adalah sebuah harta karun yang luar biasa bagi warga Gunung Kidul yang melarat dan kesulitan air. Debit air yang mengalir deras di Kali Suci, bisa dimanfaatkan menjadi sumber air bagi warga Gunung Kidul. Tidak hanya itu, fenomena alam, di Luweng Jomblang-Grubug bisa diolah menjadi ekowisata. Bukan para pecinta alam yang mengantar para ‘turis lingkungan’ masuk kedalam Luweng nantinya. Tapi penduduk desa disekitar Luweng lah yang harus diberdayakan.
Hampir dua tahun berlalu, teladan sang Bratasena tak berakhir di Luweng Grubug. Di Situ Lembang, dia menolak ketika diminta menyaksikan upacara penanaman pohon di barak Situ Lembang. “ Saya tidak mau hanya melihat orang menanam pohon saja. Buat apa. Yang terpenting adalah bagaimana menyaksikan bagaimana pohon yang tanam itu dirawat dan tumbuh menjadi besar “ demikian.
Dengan jiwanya yang bersih dan tulus, sungguh, dialah Begawan Bratasena sejati itu.
Tuesday, October 02, 2007
Secarik Sejarah yang Raib
Notulensi pidato Bung Karno tanggal 6 Oktober 1965 lenyap tak berbekas. Betulkah karena memuat pembelaan Nyoto terhadap peristiwa G30S?
Bogor, 6 Oktober 1965. Negara genting. Rabu pagi itu Bung Karno menelepon semua menteri supaya menghadiri sidang Kabinet Dwikora di Istana Bogor. Inilah rapat kabinet pertama yang diadakan Presiden setelah peristiwa G30S meletus. Sepekan baru berlalu sejak tujuh perwira tinggi TNI tewas dibunuh di Lubang Buaya. Jakarta diliputi pertanyaan besar: apa yang sesungguhnya terjadi? Betulkah Partai Komunis Indonesia terlibat? Betulkah Bung Karno melindungi PKI?
Semua menteri segera bergegas ke Bogor. Perjalanan dua jam ditempuh para menteri dengan mobil dinas mereka. Beberapa di antaranya bahkan dikawal panser militer. Dua orang yang juga meluncur ke Bogor adalah Nyoto dan M.H. Lukman—keduanya menteri negara yang juga pengurus teras PKI, partai yang dituding tentara berada di belakang prahara G30S. Ketua PKI, D.N. Aidit, yang juga salah satu menteri, telah hengkang ke Solo pada 1 Oktober pagi.
Sidang sendiri baru dimulai menjelang siang. "Ada sekitar empat puluh menteri hadir," kata Mohamad Achadi, mantan Menteri Transmigrasi Kabinet Dwikora, yang juga hadir di Istana Bogor. Termasuk di sana adalah Menteri Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya Udara Omar Dhani dan Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto. Menteri Koordinator Hankam, Jenderal A.H. Nasution, tak hadir. Suasana tegang. Achadi, kini 72 tahun, masih ingat setiap orang di ruangan itu saling waswas dan curiga satu sama lain.
Tak lama kemudian, Sukarno membuka sidang. Ia lalu memberi kesempatan kepada Nyoto sebagai Wakil Ketua II PKI untuk bicara. "Saudara Nyoto, kamu punya statement untuk disampaikan, silakan," ucap Sukarno seperti ditirukan Achadi. Ada dugaan Sukarno mempersilakan Nyoto bicara—bukan Lukman, yang juga adalah Wakil Ketua I PKI—karena Sukarno merasa dekat dengan Nyoto. Selain menteri, Nyoto adalah orang yang kerap menulis naskah pidato untuk Presiden.
Nyoto lalu mengeluarkan secarik kertas berisi tulisan tangan. Ia kemudian menyatakan bahwa PKI tidak bertanggung jawab atas peristiwa berdarah G30S. "Kejadian itu adalah masalah internal Angkatan Darat," kata Nyoto, seperti ditirukan Setiadi Reksoprodjo, mantan Menteri Listrik dan Energi Kabinet Dwikora, kepada TEMPO.
Usai pernyataan Nyoto, Sukarno menyambung dengan pidato pendek. "Tak lebih dari 30 menit," ujar Achadi, yang pernah mendekam dalam penjara Orde Baru selama 12 tahun. Sumber lain menyebutkan rapat itu berlangsung lima setengah jam. Isi pidato Sukarno, menurut Achadi, adalah pembelaan Presiden bahwa tragedi ini adalah hal biasa dalam perjalanan sejarah bangsa.
"Selalu ada peruncingan-peruncingan kekuatan. Kalau Darul Islam merupakan peruncingan kanan, Permesta peruncingan nasionalis, maka ini peruncingan kiri," tutur Sukarno. Pada bagian lain, Sukarno menyebutkan peristiwa G30S hanyalah riak kecil dalam revolusi Indonesia. "Jika benar G30S didalangi PKI, tentu PKI bertindak kekanak-kanakan," kata Bung Karno. Ucapan ini pernah pula dikatakan Bung Karno pasca-pemberontakan PKI di Madiun, 1948.
Tak seperti pidato-pidato Bung Karno lainnya yang rapi didokumentasi oleh Sekretaris Negara dan Arsip Nasional, pidato 6 Oktober itu tak berbekas. "Saya sudah berusaha mencari ke Arsip Nasional dan Sekneg, dan tidak ditemukan," ujar sejarawan Asvi Warman Adam.
Dua buku Revolusi Belum Selesai, yang memuat pidato Bung Karno pasca 30 September 1965, tak memuatnya. Di sana pidato Bung Karno yang disusun secara kronologis melompat dari pidato tanggal 3 Oktober 1965 langsung ke pidato 10 Oktober 1965. Asvi, mengutip seorang bekas menteri Kabinet Dwikora, menduga naskah itu sengaja dihilangkan karena memuat "pembelaan" Nyoto.
Betulkah? Tak jelas. Amarzan Loebis, wartawan senior yang hadir di Istana Bogor pada saat itu, mengakui bahwa Nyoto memang menyampaikan pidato pendek untuk menjelaskan posisi PKI dalam tragedi G30S. Sukarno berkali-kali pula menyebut nama Nyoto untuk mendapatkan pembenaran tentang pandangan Presiden terhadap G30S. "Sukarno menunjuk Nyoto dan bilang, masa orang seperti ini mau berontak," kata Amarzan.
Sebelum berangkat ke Bogor, Lukman sempat mampir ke rumah Nyoto di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Di sana mereka saling menyatakan tak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. "Mereka berpelukan hanya dua meter dari hadapan saya," kata Amarzan Loebis lagi (lihat, Sang Orator di Senja Masa).
Sayangnya, tak ada dokumentasi yang bisa menjelaskan drama dalam rapat di Istana Bogor itu dengan lengkap. Saat itu memang beberapa wartawan Istana datang meliput. Tapi tak semua berani menuliskannya di koran. Maklum saja, saat itu semua media tiarap di bawah bayang-bayang kekuasaan Angkatan Darat. "Padahal sidang itu penting karena merupakan pertemuan resmi Nyoto dengan Sukarno," kata Achadi.
TEMPO, yang berusaha menelusuri keberadaan dokumen itu, tak mendapatkan hasil yang memuaskan. Laporan wartawan Radio Republik Indonesia, Darmo Sugondo (alm.), yang hadir dalam rapat itu, tak jelas keberadaannya. RRI hanya menyimpan dokumen mereka periode lima tahun terakhir.
Satu-satunya media yang memuat secuil berita tentang rapat bersejarah itu adalah Kompas
edisi 7 Oktober 1965. Berita ini dibuat berdasarkan keterangan pers usai sidang yang dibacakan Wakil Perdana Menteri I Dr. Subandrio.
Kompas menuliskannya dalam tiga kolom pendek. Bukan notulensi lengkap pidato Bung Karno, melainkan garis besarnya saja. Di antaranya, Bung Karno mengutuk pembunuhan buas G30S dan pelakunya. Presiden juga mengatakan tidak membenarkan pembentukan Dewan Revolusi Indonesia. Ia juga menegaskan hanya dirinyalah satu-satunya orang yang berwenang mendemisionerkan Kabinet Dwikora.
Seperti keterangan Achadi, laporan Kompas itu juga menegaskan penjelasan Bung Karno bahwa peristiwa G30S adalah bagian dari rangkaian revolusi Indonesia yang belum selesai. "Supaya rakyat Indonesia tidak pecah dan menyeret munculnya nekolim (neokolonialisme dan imperialisme) baru, supaya rakyat Indonesia tidak diadu-domba dan dikemudikan oleh perasaan dendam, insya Allah saya (akan) mencari penjelasan politik yang adil demi keselamatan revolusi Indonesia," tutur Sukarno.
Apa penjelasan politik itu? Menurut Amarzan, dalam pertemuan yang lain, Bung Karno pernah menyebut akan membubarkan PKI, mengadili semua orang PKI yang terlibat dalam G30S, dan membentuk partai baru untuk menampung sisa-sisa PKI yang tidak terlibat. "Partai baru itu dasarnya adalah Sukarnoisme dan akan dipimpin oleh Nyoto," kata Amarzan. Sukarno tampaknya sudah patah arang terhadap D.N. Aidit, yang secara tersirat pernah ditudingnya sebagai pimpinan PKI yang keblinger. "Saat menerima delegasi sebuah organisasi pemuda nasionalis, dekat menjelang G30S, Bung Karno pernah bilang, 'Aidit itu makin kurang ajar. Nanti saya hajar dia'," kata Amarzan lagi.
Tapi sejarah tinggal sejarah. Nyoto, seperti juga D.N. Aidit dan Sukarno, tak pernah bisa menjelaskan sejarah dalam versi mereka. Pidato si Bung Besar bahkan tak bisa dibaca publik hingga buku Revolusi Belum Selesai ini diterbitkan. Tak semuanya lengkap: pidato 6 Oktober 1965 kini tetap jadi misteri.
Endah W.S.